POLITIK DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA REFORMASI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan
di era reformasi lahir sebagai koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan atas
berbagai kelemahan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang dilakukan secara menyeluruh
yang meliputi bidang pendidikan, pertahanan, keamanan, agama, sosial, ekonomi,
budaya, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut
diarahkan pada sifatnya yang lebih demokratis, adil, transparan, akuntabel,
kredibel, dan bertanggung jawab dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil,
makmur, tertib, aman dan sejahtera.
Pendidikan
era reformasi telah melahirkan sejumlah kebijakan strategis dalam bidang
pendidikan yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan oleh masyarakat secara
luas dan menyeluruh, bukan hanya bagi sekolah umum yang bernaung dibawah
Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga berlaku bagi madrasah dan
Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah Kementerian Agama.
B. Rumusan Masalah :
1.
Bagaimana
pergeseran pendidikan nasional dari masa pembangunan hingga masa reformasi?
2.
Bagaimana
perkembangan pendidikan masa reformasi?
C.
Tujuan
:
1.
Untuk mengetahui
pergeseran pendidikan nasional dari masa pembangunan hingga reformasi.
2.
Untuk mengetahui
perkembangan pendidikan masa reformasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Masa
Pembangunan Hingga Reformasi
Sejak 1966 Indonesia diperintah oleh Orde
Baru. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan
strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde Baru
adalah suatu koreksi total terhadap Orde sebelumnya yang didominasi oleh PKI
dan dianggap menyelewengkan Pancasila. Demikian pula munculnya era Reformasi
sejak 1998 ditandai dengan berbagai upaya pembaharuan sistem politik, ekonomi,
hukum, dan pendidikan nasional.
Fokus perhatian Orde Baru ditujukan pada empat
tahap strategi politik. Semuanya berpengaruh langsung bagi kebijakan pendidikan
nasional, yaitu: tahap pertama, penghancuran PKI beserta ideologi
Marxisme dari kehidupan politik bangsa, serta membersihkan semua lembaga dan
kekuatan sosial politik dari kader-kader PKI dan proses de-Nasakomisasi seluruh
aspek kehidupan bangsa. Tahap kedua, konsolidasi Pemerintah dan
pemurnian Pancasila dan UUD 1945; tahap ketiga, menghapuskan dualisme
dalam kepemimpinan nasional; dan tahap keempat mengembalikan kestabilan
politik dan merencanakan pembangunan. Itu sebabnya Orde Baru diidentikkan
dengan masa pembangunan.
Apa implikasi keempat
tahap strategi politik yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru tersebut
bagi kebijakan pendidikan nasional?
Implikasinya, pada tahap pertama,
pembubaran PKI, menimbulkan perubahan sekolah-sekolah yang bernaung di bawah
PKI dan organisasi yang ada di bawahnya. Karenanya, pada tahun 1966 sampai 1971
terdapat gejala penurunan sekolah. Setelah resmi dibubarkan, PKI praktis tidak
terlibat dalam birokrasi pemerintah maupun parpol lagi. Kondisi ini menguatkan posisi kelompok nasionalis
dengan aksi pemurnian Pancasilanya melalui Orde Baru, dan kelompok Muslim yang
smeula tersingkir dari keterlibatannya di arena politik. Tidak seperti Orde
Lama, Kebijakan pendidikan agama kini wajib diberikan mulai TK sampai
Universitas. Status madrasah disejajarkan dengan sekolah umum. Kurikulum yang
semula terurai dalam Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana, yang berkarakter kini
tersebut, diganti dengan kurikulum bermuatan pembinaan Pancasila. Prestasi
penting lainnya adalah diberlakukannya UUSPN No.2 Tahun 1989. Kurikulum 1994,
manutup produk kebijakan pendidikan masa Orde Baru.
Tahap kedua,
mengadakan konsolidasi pemerintah dan pemurnian pancasila, hal ini berpengaruh
besar bagi perubahan redaksi tujuan pendidikan nasional. Konsolidasi pemerintah
dilakukan dengan pembentukan kabinet baru dan menyusunan program pembangunan.
Adapun upaya pemurnian Pancasila menjadi prioritas. Sebagaimana telah disebut
pada bagian sebelumnya, ketika pengaruh ide Manipol masih kuat, maka tujuan
pendidikannya diarahkan supaya melahirkan warga negara sosialis Indonesia
yang susila, yang bertanggungjawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis
Indonesia, dan seterusnya, maka ketika PKI dibubarkan, kembali pada UUD 1945 dan pemurnian
Pancasila, tujuan pendidikannya pun menjadi membentuk manusia berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945.
Perubahan mendasar di atas menunjukkan bahwa ide manipol USDEK telah diganti
secara tegas menjadi falsafah Pancasila. Lantas, upaya pemurnian Pancasila.
Orde Baru diwarnai dengan semangat
serba Pancasila. Semangat ini selalu ditekankan, baik dalm bidang politik
maupun pendidikan. Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengenalan Pancasila)
harus diberikan kepada siswa/peserta didik yang diterima di sekolah atau PT,
disamping masih adanya mata pelajaran Pancasila. Mata pelajaran PMP (Pendidikan
Moral Pancasila) termasuk yang mempengaruhi kenaikan kelas atau kelulusan
sekolah. Setelah EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) diberlakukan,
PMP menjadi komponen bidang studi yang mempengaruhi nilai komulatif DANEM
(Daftar Nilai EBTANAS Murni), padahal DANEM berfungsi sebagai standar memasuki
jenjang pendidikan di atasnya. Penataran P-4 juga berlaku bagi Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Di tingkat desa pun, penduduk didata untuk memperoleh pembinaan
P-4. Sejak 1984, semua parpol dan ormas diharuskan menganut partai tunggal,
Pancasila. Orde Baru diwarnai dengan semangat serba Pancasila.
Pada tahap ketiga, menghapuskan
dualisme dalam kepemimpinan nasional. Untuk itu diadakan sidang istimewa MPRS tahun1967 dengan
hasil diangkatnya Soeharto sebagai Presiden, juga menghapuskan dualisme
penafsiran tentang Pancasila dan UUD 1945.
Implikasi tahap keempat,
mengembalikan kestabilan politik dan merencanakan pembangunan. Strategi ini dilakukan dengan jalan mengisi
kemerdekaan melalui pembangunan ekonomi serta mengembalikan wibawa pemerintah
dari pusat sampai desa. Pembangunan dilaksanakan pada semua bidang, utamanya
ekonomi dan pendidikan.
Konsentrasi pembangunan ekonomi
menunjukkan record yang membanggakan. Pertumbuhan ekonomi selama Orde
Baru meningkat secara rata-rata sebesar 6,8% per tahun. Laju pertumbuhan ini
adalah lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan ekonomi rata-rata yang
ditetepkan di setiap Pelita, yaitu sebesar 5%. Pendapatan perkapita naik secara
mencolok, dari Rp. 20.000,00 pertahun pada tahun 1969 menjadi Rp. 1.038.000,00
pertahun pada 1991, yang berarti meningkat lebih dari 51 kali lipat. Penduduk
miskin telah berkurang secara drastis dari sebanyak 54,2 juta orang atau 40,1%
dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun1976 menjadi tinggal sebanyak 27,2
juta orang atau 15,1% dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1990. Belanja
pembangunan selama Repelita I meningkat dai 1,3 trilyun rupiah menjadi hampir
78 trilyun rupiah pada Repelita V, atau meningkat 61 kali lipat. Peranan
tabungan juga meningkat dari 44,5% dalam Pelita I menjadi 49,5% dalam Repelita
V. di lain pihak peranan bantuan luar negeri semakin menurun dalam periode yang
sama, yaitu dari 55,5% menjadi 50,5%. Sampai pada 1996, pertumbuhan ekonomi
berkisar 7,5%, atau lebih dari 1995 yang mencapai 8,07% pertahun, namun
perolehan ini masih dipuji bahkan menurut East Asian Standard, walaupun
di saat yang sama, sebagai isyarat mulai turunnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Ini menandakan bahwa kemampuan dalam negeri makin meningkat dan ketergantungan
pada bantuan luar negeri makin berkurang. Secara makro, dinamika pembangunan
nasional menunjukkan kemajuan yang mengesankan, terutama kehadiran pertumbuhan
ekomoni.
Kemajuan sektor pendidikan juga
tampil denga record positif. Selama PJP I (1969-1991), sekolah, guru dan
murid SD meningkat secara mencolok, lebih dari 3,5 kali lipat. Kelembagaan SLTP
juga mengalami peningkatan lebih dari 4 kali lipat, dan kelembagaan SLTA meningkat
lebih dari 5,5 kali lipat. Terlebih jumlah guru dan murid SLTA, keduanya
meningkat lebih dari 8 kali lipat. Di lingkugna PT, jumlah kelembagaannya
meningkat lebih dari 3,5 kali lipat. Jumlah dosen meningkat lebih dari 9 kali
lipat, sementara jumlah peserta didik juga meningkat hampir 9 kali lipat.
Semua peningkatan tersebut dicapai pada tahun 1991, bila dibandingkan dengan
awal Repelita I, 1969. Bias jadi perkembangan kuantitatif kelembagaan
pendidikan ini berarti peningkatan partisipasi dan kesadaran masyarakat atas
pendidikan, tapi, di balik itu, bukankah jumlah penduduk secara nasional juga
meningkat tajam?
Sekarang bagaimana dengan
pembangunan bidang (Pendidikan) Agama Islam? Masa Orde Baru ini mencatat banyak
keberhasilan, diantaranya adalah: pemerintah memberlakukan pendidikan agama
dari tingkat SD hingga Universitas (TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966), madrasah
mendapat perlakuan dan status yang sejajar dengan sekolah umum, pesantren
mendapat perhatian melalui subsidi dan pembinaan, berdirinya MUI (Majelis Ulama
Indonesia) pada 1975, pelarangan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) mulai
1993 setelah berjalan sejak awal tahun 1980-an. Pemerintah juga akhirnya member
izin pada pelajar Muslimah untuk memakai rok panjang dan busana jilbab di
sekolah-sekolah negeri sebagai ganti seragam sekolah yang biasanya dengan rok
pendek dan kepala terbuka, terbentuknya UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Kompilasi
Hukum Islam (KHI), dukungan pemerintah terhadap pendirian Bank Islam, Bank
Muamalat Islam yang telah lama diusulkan, lalu diteruskan dengan pendirian
BAZIS (Badan Amal Zakat Infak dan Sedekah) yang idenya telah muncul sejak 1968,
berdirinya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pemberlakuan label halal
atau haram oleh MUI bagi produk makanan dan minuman pada kemasannya,
terutama bagi jenis olahan. Selanjutnya, pemerintah juga memfasilitasi
penyebaran da’i ke daerah terpencil dan lahan transmigrasi, mengadakan
MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an), peringatan hari besar Islam di Masjid
Istiqlal, mencetak dan mengedarkan Mushaf Al-Qur’an dan buku-buku agama
Islam untuk kemudian diberikan ke Masjid atau perpustakaan Islam, terpusatnya
jama’ah haji di Asrama Haji, berdirinya MAN PK (Program Khusus) mulai 1968, dan
pendidikan Pascasarjana untuk dosen IAIN baik ke dalam maupun luar negeri,
merupakan keberhasilan lainnya. khusus mengenai Kebijakan ini, Departemen Agama
telah membuka program Pascasarjana IAIN sejak 1983 dan join cooperation dengan
negara-negara Barat untuk studi lanjut jenjang Magister maupun Doktor. Selain
itu, penayangan pelajaran bahasa Arab di TVRI dilakukan sejak 1990, serta
berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 1990, dan
sebagainya. Akibat semua kebijakan tersebut, pembangunan bidang agama Islam
yang dilakukan Orde Baru mempercepat peningkatan jumlah umat Islam terdidik dan
kelas menengah Muslim perkotaan.
Data di atas adalah sebuah prestasi.
Akan tetapi, prioritas pembangunan ekonomi berjalan tidak seimbang dengan demokrasi.
Konsentrasi pembangunan ekonomi menyebabkan kehidupan demokrasi agak terlantar.
Pemilu dilaksanakan tanpa system multipartai sebagaimana Pemilu 1955, bahkan
sejak 1973 jumlah partai disederhanakan menjadi tiga kontestan, yang pada 1984
semua parpol harus berasas tunggal, Pancasila. Kebebasan pers dan mimbar
diawasi secara ketat, di penghujung tahun 1960 sampai 1980, terjadi banyak
insiden kekerasan yang diklaim oleh pemerintah sebagai ekstrim kanan,
dimana hal itu dijadikan oleh pemerintah untuk mewaspadai gerakan Islam
militan. Termasuk dalam hal ini adalah peristiwa pembajakan pesawat Garuda,
pengeboman bank-bank milik etnis Tionghoa, Pengeboman Candi Borobudur di Jawa
Tengah, ketegangan sosial diberbagai daerah antara kelompok Muslim dengan pemerintah
lokal, serta protes para pekerja Muslim di Tanjung Priok, Jakarta, terhadap
pengotoran Masjid oleh tentara beragama Kristen. Kulminasi kekerasan kian
meningkat dipenghujung Orde Baru, tahun 1996 diwarnai dengan kekerasan,
seperti: pelanggaran hak-hak politik oleh aparat menimbulkan aksi kekerasan
missal, pelanggaran HAM dan kerusuhan antar agama terjadi diberbagai tempat,
seperti Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan dan Purwakarta. Lebih dari itu,
kasus pertanahan, aksi kaum buruh dan kekerasan terhadap perempuan meningkat.
Ketimpangan
antara pembangunan ekonomi dengan demokratisasi demikian menjadikan pembangunan
bersifat artificial atau semu karena yang tampak dipermukaan adalah
gedung dan menara yang tinggi, melambangkan kemampuan usaha dan ekonomi yang
unggul, sementara pada lapis bawah (grass-root), rakyat tidak merasakan
pemerataan hasil pembangunan ekonomi. Akibat lain berimbas pada bidang pendidikan. Pendidikan
tidak menjadi headline, karena alokasi dana pendidikan jauh lebih kecil
bila dibandingkan dengan alokasi dana bidang pembangunan ekonomi dan industri.
Meskipun bidang ekonomi dan pendidikan, keduanya dirancang melalui Repelita
(Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan PJP (Pembangunan Jangka Panjang),
kebijakan yang ditempuh adalah sekotoral, ternyata tidak mampu saling menutupi.
Kembali kepada konteksnya, apa yang
berubah dalam produk kebijakan pendidikan pada masa pembangunan ini? Produk
kebijakan pendidikan pada masa pembangunan ini dihasilkan melalui program
jangka pendek dalam Repelita maupun PJP. Produknya tercermin dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN), Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN)
No.2 Tahun 1989, Peraturan Pemerintah (PP), serta Surat Keputusan Menteri, dan
lain-lain.
GBHN
memuat berbagai bidang pembangunan nasional, termasuk bidang pendidikan. GBHN
menginginkan agar setiap warga negara memperoleh kesempatan yang maksimal untuk
menikmati pendidikan setinggi-tingginya. Berikut ini adalah uraian ringkas
mengenai pola isi dan tema pokok GBHN yang menunjukkan adanya perubahan
kebijakan pendidikan nasional. GBHN 1973, GBHN1978,
GBHN 1983, GBHN 1988, dan GBHN 1993 memiliki pola isi dan tema yang tak jauh
berbeda, yaitu:
a. Dasar
dan tujuan pendidikan nasional
b. Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
c. Pendidikan
Moral Pancasila (PMP)
d. Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB)
e. Wajib
Belajar
f. Kesempatan
Belajar
g. Sistem
Pendidikan Nasional
h. Pendidikan
umum dan kejuruan
i. Pendidikan Luar Sekolah
j. Perguruan swasta
k. Perguruan
tinggi
l. Tenaga pendidik
m. Sarana
dan prasarana
n. Pendidikan
olah raga
o. Pendidikan
bahasa Indonesia
p. Perpustakaan
Berikut ini disampaikan kutipan GBHN 1978 yang terkait
dengan pendidikan:
GBHN 1978
a.
Bahwa
pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan meningkatkan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan,
memepertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan
agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun diri
sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa.
b.
Dalam
rangka melaksanakan pendidikan nasional perlu diambil langkah-langkah yang
memungkinkan penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh seluruh lapisan
masyarakat.
c.
Pendidikan
Pancasila termasuk Pendidikan Moral Pancasila dan unsur yang meneruskan dan
mengembangkan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda dimasukkan ke
dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari Taman Kanak-kanak dampai
Universitas baik negeri maupun swasta.
d.
Pendidikan
berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga,
sekolah dan masyarakat. Karena itu, pendidikan adalah tanggung jawab bersama
anatar keluarga, masyarakat dan pemerintah.
e.
Perguruan
swasta mempunyai peranan dan tanggungjawab dalam usaha melaksanakan
pendidikan nasional. Untuk itu perlu dikembangkan pertumbuhan sesuai dengan
kemampuan yang ada berdasarkan pola pendidikan nasional yang mantap, dengan
tetap mengindahkan ciri-ciri khas perguruan yang bersangkutan.
f.
Pendidikan
juga menjangkau program-progran luar sekolah yaitu pendidikan yang bersifat
kemasyarakatan, termasuk kepramukaan, latihan-latihan keterampilan dan
pemberantasan buta huruf dengan mendayagunakan sarana dan prasarana yang ada.
g.
Mutu
pendidikan diangkat untuk mengejar ketinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mutlak diperlukan untuk mempercepat pembangunan.
h.
Sistem
pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan segala bidang yang
memerlukan segala jenis-jenis keahlian dan keterampilan serta dapat sekaligus
meningkatkan produktivitas mutu dan efisiensi kerja.
Sumber.TAP MPR No.IV/MPR/1978
|
Di antara perubahan isi GBHN adalah bahwa Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang telah dimuat sejak GBHN 1983, atas
prakarsa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Prof. Dr. Nugroho Notosusanto),
dalam praktiknya mata pelajaran ini tidak berlangsung lama karena terjadi
pergantian menteri. Sementara itu sejak GBHN 1988 telah dinyatakan pentingnya
pendidikan yang terpadu dan serasi (konsep link and match), suatu konsep
yang pelaksanaannya lebih populer pada masa Kabinet Pembangunan VI. Hal lain
yang ebrbeda adalah dikembangkannya upaya pendidikan seumur hidup (life long
education).
Selain dalam GBHN, produk kebijakan pendidikan nasional
yang penting pada mas ini adalah UUSPN No.2 tahun 1989. Sebelum tahun 1989,
Undang-undang yang berlaku adalah UUP No.4 Tahun 1950 jo UUP No.12 Tahun 1954
dan UUPP No.2 Tahun 1961 yang sering dipandang sebagai suatu kendala yang cukup
mendasar bagi pembangunan pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Undang-undang tersebut, di samping tidak mencerminkan landasan kesatuan sistem
pendidikan nasional, karena didasarkan pada Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Serikat, juga tidak sebagaimana diamanatkan oelh UUD 1945. Sedangkan
UUSPN No.2 Tahun 1989 memberikan arah bagi terwujudnya sati sistem pendidikan
nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh dan terpadu. Semesta
artinya terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara.
Menyeluruh berarti mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan,
sedangkan terpadu berarti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional
dengan seluruh usaha pembangunan nasional. UUSPN No.2 Tahun 1989 ini menganut
demokrasi pendidikan, asas pendidikan seumur hidup, bersifat luwes dan
fleksibel.
Perbandingan isi UUP No.4 Tahun 1950 dengan UUSPN No.2
Tahun 1989 dan perkembangan rumusan tujuan pendidikan nasional sejak masa
kolonial Belanda, pendudukan Jepang hingga masa Orde Baru disampaikan di
halaman sendiri setelah ini.
Semua langkah strategis dan keputusan politik di atas,
membuktikan bahwa kebijakan politik di Indonesia berpengaruh besar dan langsung
bagi pendidikan nasional. Berangkat dari sini dapat ditarik beberapa argumen
bahwa: pertama, perubahan politik selalu menimbulkan perubahan kebijakan
pendidikan. Pada masa kolonial, kebijakan pendidikan dilaksanakan menurut
kepentingan penjajah. Setelah merdeka, orientasi pendidikan untuk kepentingan
masyarakat luas, bangsa dan negara. Kedua, perkembangan politik lebih
cepat dari pada perkembangan pendidikan. Keputusan politik yang diambil oleh
individu dan atau kelompok dalam pemerintahan tertentu memiliki implikasi luas
bagi masyarakat. Itu sebabnya membenahi praktik pendidikan mestilah disertai
dengan pembaharuan kebijakannya. Ketiga, arah kebijakan pendidikan
nasional bidang agama Islam pasca kolonial cenderung terus mengalami
pembaharuan substansial maupun operasional, meskipun intensitasnya berbeda
abtara satu fase dengan fase berikutnya.
Mengakhiri bagian ini, berikut ini disampaikan tabel
perbandingan isi UUPP No.4 Tahun 1950, UUSPN No.2 Tahun 1989 dengan Sisdiknas
2003, tabel pergeseran tujuan pendidikan di Indonesia sejak masa kolonial
Belanda, Jepang sampai masa kemerdekaan, serta sistem persekolahan yang dianut
sampai dengan diundangkanny UUSPN No.2 Tahun 1989 yang hingga kini masih
berlaku.
Dari tabel perbandingan di atas dapat diakatakan bahwa;
pertama, UUPP No.4 tahun 1950 isinya bersifat terbatas baik dari sisi
berlakunya, yakni untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah (Bab I pasal 1),
sedang pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah ditetapkan dalam
undang-undang lain (pasal 2), maupun masa berlakunya yang sementara, yakni
hanya berlaku di daerah Republik Indonesia yang ketika itu ibu kotanya di
Yogyakarta, lalu ditetapkan untuk seluruh Indonesia melalui UUPP No.12 Tahun
1954. Sedangkan UUSPN No.2 Tahun 1989 isinya bersifat lebih luas, tidak hanya
berlaku bagi sekolah semata, melainkan juga mencakup sekolah-sekolah agama,
misalnya madrasah, maupun cakupan isi sebagaimana tercermin dalam bab dan
pasalnya, lebih rinci dan komprehensif. Status demikian kian diperkuat dalam
sisdiknas 2003.
Kedua, pelajaran agama menurut UUPP No.2 Tahun 1950diadakan di
sekolah-sekolah negeri, dan orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan
mengikuti pelajaran tersebut atau tidak (Bab XII pasal 1), sedang pelajaran
agama menurut UUSPN No.2 Tahun 1989 mewajibkan diberikannya pelajaran agama
mulai dari TK sampai PT (negeri maupun swasta, bahkan dalam PP No. 27 Tahun1990
tentang pendidikan prasekolah (TK), dinyatakan bahwa isi program belajar
pendidikan di TK meliputi pengembangan bidang agama). Kebijakan ini diteruskan
dalam Sisdiknas 2003. Jelas hal ini menunjukkan adanya penguatan unsur agama
dalam kebijakan pendidikan nasional.
Ketiga, sistem persekolahan berdasarkan UUPP No.4 Tahun 1950
dan UU No.22 Tahun 1961 berpola 2-6-3-3-5 tahun, masing-masing untuk
TK-SD-SMP-SMA-PT, sedang sistem persekolahan berdasarkan UUSPN No.2 Tahun 1989
berpola 2-6-3-3-4 tahun dengan penghapusan jenajng Sarjana Muda sebagai Sarjana
Strata Satu selama empat tahun. Perbedaan lain, ada UUSPN No.2 TAHUN 1989 dan
Sisdiknas 2003, diselenggarakan pendidika program Diploma, jenjang Magister
(Strata Dua), dan Doktor (Strata Tiga). Di samping itu, Bustanul Athfal,
Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA),
memiliki status yang sejajar dengan TK, SD, SLTP, dan SMU. Untuk lebij jelasnya
dapat dilihat dalam Tabel VI di bagian akhir bab ini.
Keempat, beberapa pasal yang tidak dimuat dalam UUPP No.4 Tahun
1950, seperti hak warga negara, satuan, jalur dan jenis-jenis pendidikan,
kurikulum, peran serta masyarakat dan BPPN, dimuat secara jelas dala UUSPN No.2
Tahun 1989. Sementara beberapa komponen UUPP No.4 Tahun 1950 yang telah tidak
sesuai, misalnya tentang pendidikan agama dan tujuan pendidikan dari waktu ke
waktu, sejak masa kolonial Belanda Jepang, awal Kemerdekaan hingga terbentuknya
UUSPN No.2 Tahun 1989, disajikan dalam tabel di bawah ini.
Kelima, pengembangan kurikulum secara mendasar terjadi pasa
Sisdiknas 2003. Pada UUSPN No.2 Tahun 1989 memberlakukan kurikulum 1994 yang
dipandang sebagai penyempurnaan kurikulum 1984, sedang kurikulum Berbasis
kompetensi (KBK). Bedanya, kurikulum 1994 (konvensional) berorientasi pada
penguasaan isi/materi (content based), sementara kurikulum 2004
berorientasi pada kemapuan (competency based). Perbedaan tersebut
mengakibatkan pola hubungan guru-murid menjadi lebih humanistik, proses
belajar-mengajar yang inetraktif-dinamis, serta evaluasi yang holistik. Bila
kurikulum 1994 menekankan pada pencapaian tujuan, maka Kurikulum Berbasis
Kompetensi mengutamakan proses dan produk.
TABEL V
PERGESERAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
KURUN WAKTU TUJUAN PENDIDIKAN ANALISIS
FAKTOR PERUBAHAN
Kurun Waktu
|
Tujuan Pendidikan
|
Analisis Faktor Perubahan
|
Masa Belanda:
1. Sebelum 1900
2. Sesudah 1900
|
Membentuk kelas elite
Membentuk kelas elite dan tenaga terdidik murah
|
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga buruh, kepentingan kaum
modal dan tenaga administrasi
|
Masa Jepang (1942-1945)
|
Memenuhi tenaga buruh dan militer
|
Kepentingan perang Jepang
|
Tahun 1946
|
Membentuk warga negara yangs ejati dan dapat
menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara
|
Semangat nasionalisme dan patriotisme
|
UUPP No.4 Tahun 1950
|
Membentuk Manusia susila yang cakap dan warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan
tanah air
|
Pengaruh bentuk negara RIS dan sistem Demokrasi
Parlementer
|
KEPRES RI No.145 Tahun 1965
|
Melahirkan warga negara sosial Indonesia yang susila
yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia,
adil dan makmur baik spiritual maupun materiil yang berjiwa Pancasila, yaitu:
a.
KeTuhanan
Yang Maha Esa
b. Perikemanusiaan yang
adil dan beradab
c.
Kebangsaan
d. kerakyatan
e.
Keadilan
sosial, seperti yang dijelaskan dalam Manipol USDEK
|
Ide Manipol USDEK dan pengaruh PKI
|
TAP MPRS RI No.XXVII/ MPRS/1966 Bab II pasal 30
|
Membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan
ketentuan-ketenutan seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945
|
-
Pembubaran
PKI
-
Munculnya
Orde Baru dengan semangat kembali kepada Pancasila dan UUD 1945
|
GBHN 1973
|
Membentuk manusia-manusia pembangunan yang berPancasila
untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, dapat mengemabngkan kreativitas dan tanggung
jawab, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti
yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan
ketentuan yang termasuk dalam UUD 1945
|
Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita I.
|
GBHN 1978
|
Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan
bertujuan untuk meningkatkan ketawaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian
dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat memebangun dirinya sendiri serta bersama-sama
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
|
Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita I
|
GBHN 1983
|
Menigkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yahg Maha Esa,
kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat
kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar
dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat memabngun dirinya
sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
|
Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita II
|
GBHN 1988
|
Meningkatkan kualitas manusia Indonesia manusia
Indonesia, yaitumanusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadia, berdisiplin, bekerja keras,
tangguh, bertanggungjawab, mandiri, cerdas, terampil, serta sehat jasmani dan
rohani.
|
Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita III dan
menguatnya pengaruh Umat (Islam)
|
Sisdiknas 2003
|
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan memebentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratif serta bertanggungjawab
|
Kebijakan reformasi pendidikan nasional
|
Diolah dari berbagai sumber.
TABEL VI
SISTEM PERSEKOLAHAN UUSPN NO.2 TAHUN 1989
Usia
24
|
Pendidikan Tinggi
|
Doktor (S-3)
|
Program Doktor
(S-3)
|
Spesialis II (SP II)
|
|||
23
|
Magister (S-2)
|
Program Magister (S-2)
|
Spesialis I (SP I)
|
||||
22
|
Sarjana (S-1)
|
Program Sarjana
(S-1)
|
Diploma 4 (D-4)
|
Diploma 3 (D-3)
|
Diploma 2 (D-2)
|
Diploma 1 (D-1)
|
|
21
|
|||||||
20
|
|||||||
19
|
18
|
Pendidikan Menengah
|
Madrasah Aliyah
(MA)
|
Sekolah Menengah Umum (SMU)
|
Sekolah
Menengah
Kejuruan
(SMK)
|
17
|
||||
16
|
15
|
Pendidikan Dasar
|
Madrasah Tsanawiyah (MTs)
|
Sekolah
Lanjutan
Tingkat
Pertama
(SMP)
|
14
|
|||
13
|
|||
12
|
Madrasah Ibtidaiyah
|
Sekolah Dasar
|
|
11
|
|||
10
|
|||
9
|
|||
8
|
|||
7
|
|||
6
|
5
|
Pra-Sekolah
|
Bustanul Athfal (BA)
Raudhatul Athfal (RA)
|
Taman Kanak-Kanak
|
B.
Perkembangan
Pendidikan pada Masa Reformasi
Sejalan dengan adanya berbagai
perbaikan politik tersebut di atas, telah menimbulkan
keadaan pendidikan era reformasi keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Karena dibentuknya kebijakan-kebijakan pendidikan era reformasi, kebijakan itu antara lain:
keadaan pendidikan era reformasi keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Karena dibentuknya kebijakan-kebijakan pendidikan era reformasi, kebijakan itu antara lain:
Pertama, kebijakan tentang pemantapan
pendidikan islam sebagai bagian dari Sistem pendidikan nasional. Upaya ini dilakukan melalui
penyempurnaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional. Jika
pada Undang-Undang No 2 Tahun 1989 hanya menyebutkan madrasah saja yang masuk
dalam system pendidikan nasional, maka pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
manyebutkan pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan
Majlis Ta’lim termasuk dalam system pendidikan nasional. Dengan masuknya pesantren,
ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan Majlis Ta’lim ke dalam
system pendidikan nasional ini, maka selain eksistensi dan fungsi pendidikan
islam semakin diakui, juga menghilangkan kesan dikotomi dan diskriminasi.
Sejalan dengan itu, maka berbagai perundang-undangan dan peraturan tentang
standar nasional pendidikan tentang srtifikasi Guru dan Dosen, bukan hanya
mengatur tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di
bawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga tentang Standar
Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Agama.
Kedua, kebijakan tentang peningkatan
anggaran pendidikan. Kebijakan ini misalnya terlihat pada ditetapkannya
anggaran pendidikan islam 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang di dalamnya termasuk gaji Guru dan Dosen, biaya operasional
pendidikan, pemberian beasisiwa bagi siswa kurang mampu, pengadaan buku gratis,
infrastruktur, sarana prasarana, media pembelajaran, peningkatan sumber daya
manusia bagi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian Agama dan
Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan adanya anggaran pendidikan yang cukup
besar ini, pendidikan saat ini mengalami pertumbuhan, perkembangan, dan
kemajuan yang signifikan dibandingkan dengan keadaan pendidikan sebelumnya,
termasuk keadaan pendiidkan islam.
Ketiga, program wajib belajar 9 tahun, yaitu
setiap anak Indonesia wajib memilki pendidikan minimal sampai 9 tahun. Program
wajib belajar ini bukan hanya berlaku bagi anak-anak yang berlaku bagi
anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan
Kementeria Pendidikan Nasional, melainkan juga bagi anak-anak yang belajar di
lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Agama.
Keempat, penyelenggaraan Sekolah Bertaraf
Nasional (SBN), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu pendidikan yang
seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional.
Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan, bagi sekolah yang akan ditetapkan
menjadi SBI harus terlebih dahulu mencapai sekolah bertaraf SBN. Sekolah yang
bertaraf nasional dan internasional ini bukan hanya terdapat pada sekolah yang
bernaung di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, melainkan juga pada sekolah
yamg bernaung di bawah Kementerian Agama.
Kelima, kebijakn sertifikasi bagi semua Guru dan Dosen baik Negeri
maupun Swasta, baik umum maupun Guru agama, baik Guru yang berada di bawah
naungan Kementerian Pendidikan Nasional maupun Guru yang berada di bawah
Kementerian Pendidikan Agama. Program
ini terkait erat dengan peningkatan mutu tenaga Guru dan Dosen sebagai tenaga
pengajar yang profesional. Pemerintah sangat mendukung adanya program
sertifikasi tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74
tahun 2005 tentang sertifikasi Guru dan Dosen, juga mengalokasikan anggaran
biayanya sebesar 20% dari APBN. Melalui program sertifikasi tersebut,
maka kompetensi akademik, kompetensi pedagogik (teaching skill), kompetensi
kepribadian dan kompetensi sosial para Guru dan Dosen ditingkatkan.
Keenam, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun 2004)
dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun 2006). Melalui kurikulum
ini para peserta didik tidak hanya dituntut menguasai mata pelajaran (subject
matter)`sebagaimana yang ditekankan pada kurikulum 1995, melainkan juga
dituntut memilki pengalaman proses mendapatkan pengetahuan tersebut, seperti
membaca buku, memahami, menyimpulkan, mengumpulkan data, mendiskusikan,
memecahkan masalah dan menganalisis. Dengan cara demikian para peserta didik
diharapkan akan memiliki rasa percaya diri, kemampuan mengemukakan pendapat,
kritis, inovatif, kreatif dan mandiri. Peserta didik yang yang demikian itulah
yang diharapkan akan dapat menjawab tantangan era globalisasi, serta dapat
merebut berbagai peluang yang terdapat di masyarakat.
Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya
terpusat pada Guru (teacher centris) melalui kegiatan teachimg, melainkan
juga berpusat pada murid (student centris) melalui kegiatan learnig (belajar)
dan research (meneliti) dalam suasana yang partisipatif, inovatif,
aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan pendekatan ini metode yang
digunakan dalam kegiatan belajar mengajar bukan hanya ceramah, seperti diskusi,
seminar, pemecahan masalah, penugasan dan penemuan. Pendekatan proses belajar
mengajar ini juga harus didasarkan pada asas demokratis, humanis dan adil,
dengan cara menjadikan peserta didik bukan hanya menjadi objek pendidikan
melainkan juga sebagai subjek pendidikan yang berhak mengajukan saran dan
masukan tentang pendekatan dan metode pendidikan.
Kedelapan, penerapan manajemen yang berorientasi pada pemberian
pelayanan yang naik dan memuaskan (to give good service and satisfaction for
all customers). Dengan pandangan bahwa pendidikan adalah sebuah
komoditas yang diperdagangkan, agar komoditas tersebut menarik minat, maka
komoditas tersebut harus diproduksi dengan kualitas yang unggul. Untuk itu
seluruh komponen pendidikan harus dilakukan standarisasi. Standar tersebut
harus dikerjakan oleh sumber daya manusia yang unggul, dilakukan perbaikan
terus menerus, dan dilakukan pengembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Berkaitan dengan ini, maka di zaman reformasi ini telah lahir Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang
meliputi:
1. Standar Isi
(kurikulum)
2. Standar Mutu Pendidikan
3. Standar Proses
Pendidikan
4. Standar
Pendidik dan tenaga kependidikan
5. Standar
Pengelolaan
6. Standar Pembiayaan
7. Standar
Penilaian.
Kesembilan, kebijakan mengubah sifat madrasah menjadi sekolah umum
yang berciri khas keagamaan. Dengan ciri ini, maka madrasah menjadi sekolah
umum plus. Karena di madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah) ini, selain
para siswa memperoleh pelajaran umum yang terdapat pada sekolah umu seperti SD,
SMP, dan SMU. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka tidaklah mustahil jika
suatu saat madrasah akan menjadi pilihan utama masyarakat.
Seiring dengan lahirnya berbagai kebijakan pemerintah tentang pendidikan
nasional telah disambut positif dan penuh optimisme oleh seluruh lapisan
masyarakat, terutama para pengelola pendidikan. Berbagai inovasi dan
kreatifitas dalam mengembangkan komponen-komponen pendidikan telah
bangyak bermunculan di lembaga pendidikan. Melalui dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) telah memberi peluang bagi masyarakat yang kurang mampu untuk
menyekolahkan putra putrinya. Melalui program sertifikasi Guru dan Dosen telah
menimbulkan perhatian kepada para Guru dan Dosen untuk melaksanakan tugasnya
dengan baik. Melalui program Kuirkulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah melahirkan suasana akademik dan dan
proses belajar mengajar yang lebih kreatif, inovatif dan mandiri. Demikian juga
dengan adanya Standar Nasional Pendidikan telah timbul kesadaran gagi kalangan
para pengelola pendidikan untuk melakukan akreditasi terhadap program studi yang
dilaksanakan.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian
dan analisis sebagaimana tersebut diatas, maka dapat di kemukakan beberapa
catatan penutup sebagai berikut.
Pertama, pemerintah di
era reformasi lahir sebagai koreksi, perbaiakan, dan penyempurnaan atas
berbagai kelemahan kebijakan pemerintah Orde Baru yang dilakukan secarah
menyeluruh, yang meluputi bidang politik, pendidikan, kesehatan, dan
lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan pada sifat yang lebih
demokratis, adil, transparan, akuntabel, bertanggung jawab dan fairness dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, tertib, aman, dan sejahterah.
Kedua, Pendidikan
bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara
seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional perasaan dan
indera. Dengan demikian
pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta
perubahan-perubahan yang terjadi, dan pemerintahan di era reformasi teleh
melehirkan sejumlah kebijakan strategis dalam bidang pendidikan yang
pengaruhnya langsung dapat dirasakan masyarakat.yaitu, kebijakan tentang
pembaruan Undang-undang sistem pendidikan nasional dari Undang-undang Nomor 2
Tahun 1989 menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 peningkatan jumlah
anggaran pendidikan yang amat signifikan, yakni dari yang semula hanya 5%
menjadi 20% dari total anggaran APBN, perubahan kurikulum dari subjek matter ke
arah pengembangan para kompetensi para lulusan, peningkatan mutu pendidikan
melalui program sertifikasi, perubahan paradigma strategi, pendekatan dan
metode pembelajaran ke arah yang lebih terpusat pada peserta didik (studen
center).
Ketiga, barbagai
kebijakan pemerintahan era roformasi dalam bidang pendidikan tersebut berlaku
bukan hanya bagi sekolah umum yang bernaung di bawah kementrian pendidkan
nasional saja, melainkan juga berlakau bagi madrasah dan perguruan tinggi agama
yang bernaung di bawah kementrian agama. Dengan demikian kesan dikotomis antar pendidikan agama dan
pendidikan umum, dan kesan perlakuan diskriminasi pemerintah terhadap
pendidikan agama sudah tidak tampak lagi.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
(2005, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).
http://masarevormasi.blogspot.com/2012/07/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html acessed, 09 october
2013. 09.47 am.
Assegaf, Abd.Rachman, Politik
Pendidikan Nasional Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari
Praproklamasi ke Reformasi (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar